Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, menyimpan harta karun keanekaragaman hayati yang luar biasa. Salah satu penghuni hutan hujan tropis yang paling mencolok adalah burung enggang, atau rangkong. Disebut juga dengan hornbill dalam bahasa Inggris. Burung ini bukan hanya menjadi ikon flora dan fauna Kalimantan, tetapi juga simbol budaya dan spiritual bagi masyarakat adat Dayak.
Keunikan Fisik dan Perilaku
Burung enggang dikenal dengan paruhnya yang besar dan melengkung, dihiasi dengan struktur seperti helm yang disebut “casque.” Ada sekitar 59 spesies enggang di dunia, dan Kalimantan menjadi rumah bagi 8 spesies di antaranya, termasuk enggang gading (Rhinoplax vigil) dan enggang badak (Buceros rhinoceros).
Burung enggang memiliki ukuran tubuh yang bervariasi, mulai dari 45 cm hingga lebih dari 1 meter, tergantung pada spesiesnya. Salah satu ciri khas yang menarik adalah suara ketukan atau panggilan nyaring yang bisa terdengar hingga beberapa kilometer di hutan lebat. Perilaku sosial burung ini juga menarik, terutama kebiasaan berpasangan seumur hidup dan pembagian tugas antara jantan dan betina dalam membesarkan anak.
Habitat dan Distribusi
Hutan hujan tropis Kalimantan menyediakan habitat ideal bagi burung enggang. Mereka mendiami lapisan atas kanopi hutan, yang memberi mereka akses ke berbagai buah-buahan, serangga, dan hewan kecil lainnya yang menjadi bagian dari diet mereka. Enggang sangat bergantung pada hutan yang utuh dan tidak terganggu, menjadikannya indikator penting kesehatan ekosistem hutan.
Namun, deforestasi dan konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah mengancam keberlangsungan habitat alami mereka. Diperkirakan, lebih dari 30% hutan di Kalimantan telah hilang dalam beberapa dekade terakhir, membuat burung enggang berada dalam risiko tinggi.
Signifikansi Budaya
Bagi masyarakat Dayak, burung enggang bukan sekadar satwa liar; ia adalah makhluk spiritual. Enggang sering digambarkan dalam ukiran, tarian, dan ritual adat Dayak. Casque atau tanduk enggang bahkan digunakan sebagai hiasan kepala dalam upacara tertentu, simbol kekuatan, dan keberanian.
Mitos dan legenda lokal juga menceritakan tentang enggang sebagai utusan para dewa, membawa pesan antara dunia manusia dan dunia roh. Hubungan erat ini menjadikan konservasi burung enggang sebagai bagian integral dari pelestarian budaya Dayak.
Upaya Konservasi
Menghadapi ancaman deforestasi dan perdagangan satwa liar, berbagai organisasi lokal dan internasional telah bekerja sama untuk melindungi burung enggang dan habitatnya. Program konservasi berfokus pada restorasi habitat, patroli anti-perburuan, dan pendidikan masyarakat tentang pentingnya menjaga keberagaman hayati.
Beberapa proyek juga melibatkan masyarakat adat dalam upaya pelestarian, memadukan kearifan lokal dengan pendekatan ilmiah modern. Misalnya, Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah menjadi salah satu kawasan yang gencar melaksanakan program konservasi burung enggang melalui pendekatan komunitas.
Burung enggang adalah salah satu harta terindah Kalimantan yang harus dijaga dan dilestarikan. Keberadaannya tidak hanya penting bagi ekosistem hutan hujan tropis, tetapi juga bagi warisan budaya masyarakat Dayak. Melalui upaya konservasi yang berkelanjutan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, kita dapat memastikan bahwa burung enggang akan terus terbang melintasi langit Kalimantan, membawa kisah keindahan alam dan kebijaksanaan leluhur kepada generasi mendatang.