Oleh: Moh. Arief Sah
mohariefsah@mhs.ptiq.ac.id
Program Doktor PKUMI-PTIQ Jakarta
Di tengah geliat digitalisasi dan menjamurnya pasar modern, pasar tradisional sering diposisikan sebagai simbol keterbelakangan. Bangunan yang sempit, tata kelola yang semrawut, dan citra kurang higienis kerap dijadikan alasan mengapa pasar rakyat dianggap tidak lagi relevan. Padahal, di balik kesan itu, pasar tradisional menyimpan denyut ekonomi masyarakat kecil dan menjadi ruang hidup bagi jutaan pedagang.
Pemerintah merespons tantangan ini melalui program revitalisasi pasar tradisional. Salah satu contoh konkret adalah revitalisasi Pasar Pagi Samarinda. Secara fisik, saat ini pasar pagi tampil lebih modern, bangunan diperbaiki, zonasi ditata ulang, manajemen diperbarui, bahkan sistem digital mulai diperkenalkan. Namun, pertanyaan pentingnya bukan sekadar apakah pasar menjadi lebih “cantik” atau “rapi”, melainkan apakah revitalisasi benar-benar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi para pedagang. Di titik inilah perspektif Maqāṣid Syariah menjadi relevan untuk diajukan sebagai cara membaca kebijakan revitalisasi pasar, diantaranya:

Pasar Tradisional Lebih dari Sekadar Tempat Jual Beli
Pasar tradisional bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruang sosial. Di sanalah interaksi antarmanusia berlangsung secara langsung, nilai kejujuran diuji, tawar-menawar menjadi etika, dan solidaritas tumbuh secara alami. Dalam konteks Islam, pasar bahkan memiliki posisi yang sangat strategis. Sejarah mencatat bahwa Rasulullah saw. membangun pasar Madinah sebagai ruang ekonomi yang bebas dari monopoli dan ketidakadilan.
Karena itu, ketika pasar tradisional direvitalisasi, yang seharusnya diperbaiki bukan hanya bangunannya, tetapi juga ekosistem keadilan di dalamnya. Revitalisasi yang hanya meniru logika pasar modern berisiko menggeser pedagang kecil dan menyingkirkan mereka yang tidak siap beradaptasi dengan sistem baru. Pengalaman Pasar Pagi menunjukkan dua sisi dari revitalisasi, yaitu fasilitas yang lebih baik meningkatkan kenyamanan dan keamanan atau sebaliknya, tidak semua pedagang mampu beradaptasi dengan sistem zonasi baru, digitalisasi transaksi, dan perubahan manajemen yang semakin formal.
Revitalisasi dan Maqāṣid Syariah
Dalam perspektif Maqāṣid Syariah, kesejahteraan tidak diukur semata dari peningkatan pendapatan atau efisiensi ekonomi. Kesejahteraan mencakup perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan kerangka ini, revitalisasi pasar dapat dinilai secara lebih utuh dan manusiawi.
Pertama, dari sisi perlindungan agama (ḥifẓ ad-dīn). Pasar Pagi Samarinda pascarevitalisasi menyediakan fasilitas ibadah yang lebih layak, seperti mushola yang representatif disetiap lantai. Bahkan, menyediakan ruang khusus laktasi sehingga privasi perempuan lebih terjaga.
Kedua, perlindungan jiwa (ḥifẓ an-nafs). Perbaikan infrastruktur, sanitasi, dan sistem keamanan pasar jelas berkontribusi pada keselamatan pedagang dan pembeli. Lingkungan yang bersih dan tertata mengurangi risiko kecelakaan dan penyakit.
Ketiga, perlindungan akal (ḥifẓ al-‘aql). Digitalisasi pasar seharusnya menjadi sarana pemberdayaan, bukan alat eksklusi. Pelatihan penggunaan aplikasi, manajemen keuangan, dan pemasaran digital adalah bentuk perlindungan akal karena meningkatkan kapasitas intelektual pedagang.
Keempat, perlindungan keturunan (ḥifẓ an-nasl). Pasar adalah sumber nafkah keluarga. Ketika revitalisasi meningkatkan stabilitas usaha pedagang, maka secara tidak langsung ia menjaga keberlangsungan hidup keluarga dan masa depan generasi berikutnya. Namun, jika revitalisasi justru membuat sebagian pedagang kehilangan pendapatan, maka dampaknya bukan hanya pada individu, tetapi juga pada keluarga mereka.
Kelima, perlindungan harta (ḥifẓ al-māl). Dalam Islam, harta harus dikelola secara aman, adil, dan produktif. Sistem retribusi digital dan manajemen yang lebih transparan di Pasar Pagi Samarinda merupakan langkah positif. Namun, perlindungan harta juga berarti memastikan bahwa kebijakan tidak memiskinkan sebagian pedagang demi keuntungan segelintir pihak.
Revitalisasi pasar tradisional sering terjebak pada logika modernisasi semata. Pasar dinilai berhasil jika tampak modern, bersih, dan digital. Padahal, modernisasi tanpa keadilan hanya akan menciptakan pasar yang indah secara visual, tetapi rapuh secara sosial. Pedagang bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek utama yang harus dilibatkan sejak perencanaan hingga evaluasi. Tanpa partisipasi mereka, revitalisasi mudah berubah menjadi proyek fisik yang kehilangan ruh sosialnya. Dalam perspektif Maqāṣid Syariah, kebijakan publik harus diukur dari sejauh mana ia menghadirkan maslahat dan mencegah mafsadat. Revitalisasi pasar yang mengabaikan kelompok rentan bertentangan dengan semangat ini, meskipun secara administratif dianggap berhasil.






