
Samarinda – Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini di Gedung DPRD Kalimantan Timur berlangsung penuh makna. Dalam momentum itu, Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis, menyampaikan pandangan mendalam mengenai Pancasila sebagai fondasi kebangsaan yang lahir dari denyut kehidupan rakyat, bukan produk instan negara.
“Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesungguhnya telah hidup dalam masyarakat jauh sebelum dirumuskan secara resmi. Itu bukan sekadar teks, tapi cerminan dari jiwa bangsa Indonesia sendiri,” ungkap Ananda.
Menurut politisi muda dari PDI Perjuangan ini, semangat kebersamaan, saling peduli, dan toleransi yang selama ini tumbuh dalam kehidupan masyarakat adalah manifestasi paling otentik dari Pancasila. Ia menekankan, keistimewaan ideologi ini terletak pada keberhasilannya merangkul keberagaman dan menjadikannya kekuatan.
“Banyak yang tak sadar bahwa hal-hal sederhana seperti membantu tetangga tanpa pamrih, menjaga harmoni antarumat, atau bekerja sama saat musibah melanda—itulah sejatinya Pancasila yang hidup,” ujarnya.
Dalam sambutannya, Ananda juga menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga dan menghidupkan nilai-nilai tersebut. Ia menyatakan bahwa tantangan zaman tidak boleh membuat kaum muda tercerabut dari akar identitas bangsanya.
“Kita tak bisa bicara tentang masa depan tanpa melibatkan anak-anak muda yang memiliki integritas dan karakter. Mereka harus menjadi penggerak perubahan yang tetap berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa,” kata dia.
Ia menilai bahwa di tengah arus globalisasi yang membawa pengaruh budaya luar, Pancasila harus menjadi pegangan yang kuat agar masyarakat, khususnya kalangan muda, tidak kehilangan arah.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah kesadaran kolektif untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan berpikir dan bertindak, bukan hanya diperingati setiap 1 Juni,” tambahnya.
Sebagai penutup, Ananda mengajak semua elemen masyarakat untuk tidak hanya memuliakan Pancasila dalam wacana, tetapi menjadikannya bagian dari perilaku sehari-hari.
“Pancasila itu bukan milik elite, bukan milik upacara. Ia hidup dalam cara kita bertetangga, dalam sikap adil, dan dalam keberanian bersuara untuk kebenaran. Tugas kita bukan menghafal, tapi menghidupkannya,” tutupnya dengan tegas.(adv)