Samarinda – Ancaman kepunahan Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris), mamalia air tawar endemik Sungai Mahakam, kian mengkhawatirkan. Saat ini, jumlah populasi satwa langka tersebut diperkirakan hanya tersisa sekitar 60 ekor di alam liar.
Menanggapi kondisi tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur Sarkowi V Zahry, menyampaikan keprihatinan mendalam. Ia menyebut keberadaan Pesut Mahakam tidak hanya menjadi kebanggaan daerah, tetapi juga indikator penting kesehatan ekosistem sungai.
“Kalau kita terus diam, pesut Mahakam akan punah. Padahal mereka ini simbol keanekaragaman hayati Kalimantan Timur. Kita tidak bisa hanya mengandalkan regulasi di atas kertas, penegakan di lapangan harus kuat,” ujarnya, Kamis (17/7/2025).
Menurut Sarkowi, penyebab utama menurunnya populasi pesut adalah aktivitas manusia yang merusak habitat mereka. Mulai dari penggunaan alat tangkap yang berbahaya seperti jaring, setrum, hingga praktik ilegal pengeboman ikan. Selain itu, kerusakan lahan gambut dan memburuknya kualitas air turut memperparah situasi.
“Pesut itu makhluk sensitif. Mereka bisa stres karena kebisingan kapal atau pencemaran air. Ini membuat mereka menjauh dari habitat alaminya. Lama-lama, mereka kehilangan tempat tinggal dan kesulitan berkembang biak,” terangnya.
Ia menambahkan, meskipun regulasi perlindungan pesut Mahakam telah tersedia, seperti peraturan daerah dan aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lemahnya implementasi menjadi tantangan utama.
“Perda ada, kebijakan dari pusat juga ada. Tapi kalau tidak ditegakkan, hasilnya tetap nol. Kita hanya menyaksikan satu per satu pesut menghilang tanpa ada langkah konkret penyelamatan,” jelasnya.
Sarkowi menekankan bahwa penyelamatan pesut tidak bisa dibebankan hanya kepada pemerintah, melainkan membutuhkan kerja sama semua pihak, termasuk masyarakat dan pelaku industri yang beroperasi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Mahakam.
“Pesut Mahakam punya fungsi ekologis penting, mereka menjaga keseimbangan rantai makanan di sungai. Jika mereka punah, itu pertanda ekosistem kita sudah sakit. Ini harus menjadi peringatan keras bagi kita semua,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pesut memiliki siklus hidup yang lambat: hanya hidup sekitar 40 tahun dan hanya mampu berkembang biak maksimal tiga kali dalam hidupnya.
“Dengan kondisi reproduksi seperti itu, kita tidak punya banyak waktu. Harus ada aksi nyata sekarang juga untuk menyelamatkan mereka dari ambang kepunahan,” pungkasnya. (adv)